OLEH WAHYUNI HASAN, putra Aceh merantau ke Malaysia, melaporkan dari Kuala Lumpur

LIBURAN ke luar negeri merupakan hal yang sangat menyenangkan bagi saya. Kali ini saya berkunjung ke Malaysia. Selama di Kuala Lumpur saya sempatkan jalan-jalan menggunakan jasa transportasi umum seperti KTM, train, LRT, bus, kereta kabel, dan taksi.

Dalam beberapa rute perjalanan, saya merasa tidak pernah mengeluarkan uang ringgit dalam jumlah besar untuk membayar jasa transportasi yang tarifnya telah ditentukan kerajaan setempat, meskipun tujuan perjalanan saya sangat jauh. Ini tentu membuat saya sangat tertarik dan betah mengunjungi banyak tempat di negara yang terkenal dengan menara kembar Petronasnya ini.

Saya amati, semua jasa transportasi di Kuala Lumpur menggunakan argometer dan pembayaran yang pas, sehingga pelancong seperti saya merasa sangat nyaman dengan bayaran jasa transportasi yang saya gunakan. Pembelian tiket bus, KTM Comuter, dan kereta kabel, semuanya sesuai dengan tarif yang telah ditentukan oleh kerajaan setempat. Begitu juga dengan taksi, ongkos yang kita bayar sesuai dengan jarak tempuh ke tujuan. Tidak ada istilah “argo kuda”.


Selain itu, transportasi umum di Malaysia tidak mengenal istilah terlambat, hanya gara-gara menunggu penumpang di jalan atau terlambat karena sopir menurunkan penumpang untuk makan minum. Semuanya sudah diatur sedemikian detail, jadi tidak ada alasan terlambat di jalan bagi pengguna transportasi umum. Hanya taksi yang ada kemungkinan jem (bahasa Melayu) atau macet (bahasa Indonesia) pada saat jam-jam kerja atau pulang kerja. Selebihnya, mulus.

Hal ini mengingatkan saya akan Aceh tercinta. Saya sering dengar dan alami sendiri tentang tarif transportasi di Aceh yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah bersama organisasi angkutan tertentu. Misalnya saja di Kota Banda Aceh, pengguna jasa sering kali mengeluh tentang ongkos becak yang terkadang sangat menguras isi kantong si penumpang, padahal pemerintah setempat telah menetapkan tarif Rp 3.000/km. Tapi giliran kita naik becak dari Simpang BPKP menuju Sewu Ulee Kareng abang becak tega minta bayaran Rp 15.000, padahal jika dihitung kilometernya tak lebih 1 km. Nah, berapa banyak uang yang terkuras dari saku saya untuk membayar tarif yang tidak sesuai dengan ketetapan yang telah ditentukan ini?

Selain itu di Aceh sering saya dengar tarif angkutan untuk turis atau pelancong dari luar negeri dinaikkan mendadak. Tak ada kepastian tarif. Seringnya tukang becak dan sopir taksi pun cari kesempatan dalam kesempitan dengan menaikkan tarif yang tidak sesuai dengan tarif resmi. Hal ini maunya jangan terjadi lagi, mengingat tahun depan merupakan Tahun Kunjungan ke Aceh (Visit Aceh Year).

Ini patut diperhatikan oleh pemberi jasa transportasi umum di Aceh agar kita benar-benar menjadi masyarakat yang memuliakan tamu, sesuai dengan semboyan peumulia jamee adat geutanyoe. Jika perlu mari belajar dan mencontoh Malaysia, demi kenyamanan sekaligus perkembangan Aceh ke depan.

Mari kita tanamkan prinsip bahwa transportasi umum itu tujuannya untuk memudahkan mobilitas masyarakat, bukan justru menjadikan mereka sebagai objek perahan dan menyebabkan uang mereka banyak terkuras.

* Bila Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas Anda ke email: redaksi@serambinews.com





Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Transportasi Umum Malaysia Patut Dicontoh, https://aceh.tribunnews.com/2012/11/29/transportasi-umum-malaysia-patut-dicontoh.

Komentar